Kepada PghIswr, penuntun kata yang menetas di jari.
Ingat saat pertama aku mengucap kata dari suaraku dan didesingkan langsung di telingamu? Ah semoga ingat, kau kan pelupa yang sulit dilupakan. Awal mula kita berjumpa dan dipertemukan dalam sebuah kelas. Tahun 2010, kuingat moment dan kusimpan dalam laci di kepala.
Saat itu, 2010, tak pernah aku menganggapmu ada. Apalagi kamu? Kamu dengan sikap dinginmu, dan aku dengan sikap cuekku. Klop, bukan? Tak pernah ada obrolan hangat, hanya ada sapaan sesaat.
2011. Lalu kita bertemu di siang hari pulang sekolah, di sebuah ruang kelas dengan puluhan cat air dan kuas. Disitulah kita mulai sedikit mengobrol untuk pertama kalinya lewat suara dan sedikit pula tatapan mata. Aku mulai mengagumimu. Ah, jantungku rasanya mau copot, pipiki terasa panas, wajahku menyemburat merah karena jantung merebus rasa grogi menjadi rasa malu dan tersipu di pipi. Seharusnya aku berterimakasih kepada temanmu satu itu. Terimakasih, Ji. Dan kertas, kuas, serta cat air. Kalian penghubung hati.
Selanjutnya lingkaran pertemuan kita rupanya saling membuat garis, kita semakin sering berjumpa. Kita bersahabat setelahnya. Kemudian lahir ribuan kata lewat pesan singkat. Dari sana, menetas pula banyak doa dan berharap kita ada apa-apa. Sudahlah, doa yang baik-baik akan menemukan wadahnya dan akan tersublim menjadi nyata kalau memang begitu adanya. Kita juga dihujani doa dari orang terdekat, apa yang lebih menyenangkan dari itu?
Bola waktu semakin bergulir, usia pertemanan semakin bertambah, ada saat-saat dimana kamu sedang jatuh dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku benci menjadi bukan siapa-siapa kamu, saat itu. Seperti bianglala, aku memperhatikan kehidupanmu yang berputar, Guh.
181211. Adalah satu dari sekian banyak hari yang terus terang sangat mendebarkan. Kamu, pujaan banyak wanita, dengan bangga telah menjatuhkan hati ke seseorang. Aku. Hati ini masih kubawa. Masih kupegang, dan akan tetap terjaga rapi sampai hari ini, besok, dan seterusnya.
Salam dari hati dan juga aku.