Gue pernah.
Kemarin, setelah sekian lama nggak buka Facebook, akhirnya gue buka lagi, dan kaget pas lihat di recent stories teratas ada album foto salah seorang temen di Facebook. Bukan sembarang album. Itu dia sama cewek dia!
Dengan rahang bawah yang tiba-tiba terasa seberat satu truk sapi betina siap perah, gue melototin album foto itu dengan perasaan tidak percaya.
dicampur sedikit… *jangan bohong, Cik!* oke, dicampur BANYAK rasa tidak terima.
Kenapa nggak terima begitu tau temen jadian?
Karena dia bukan sembarang temen. Dia itu dia.
Laki-laki 17 tahun yang sempet deket sama gue di akhir 2008 - awal 2009.
Laki-laki yang dulu dengan begitu baiknya deketin gue yang lovable ini. *PLAK!*
Laki-laki yang dari dulu mengungkapkan perasaannya dan jujur bilang lagi cari pasangan.
Laki-laki yang dari dulu emang udah gagah, kaya, dan tampan.
Laki-laki yang dulu dengan bodohnya gue tolak.
Iya, gue tolak.
Bukan sok kecakepan atau sok punya standar tinggi. Bukan. Alasannya saat itu cuma satu.
…
Oke! Oke! Alasannya ada dua, sih.
Satu, karena waktu itu masih belum bisa move on dari seseorang. *penyakit susah move on ini semacam kutukan, sepertinya*
Dua, karena waktu itu gue agak naksir-naksir lucu sama temen deketnya. Bukan sama dianya.
So yes, I said no to him.
Dan gue inget kalimat terakhir gue ke dia sebelum akhirnya dia pergi.
“Maaf…”Bodohnya, setelah gue pikir-pikir sekarang, saat itu gue malah nggak pernah mikirin perasaan dia. Walaupun saat bilang “Tidak”, gue meminta maaf, tapi c’mon, gue tau rasanya sayang sama seseorang dan nggak disayang balik.
Walau ditolak baik-baik, kata maaf nggak pernah cukup.
Kata maaf mungkin cukup kalo kita nginjek kaki stranger di antrian KFC.
Atau nggak sengaja nelen cokelat mahal kesayangan adek kita yang udah dia simpen di kulkas baik-baik kaya ngejaga anak dewa.
Atau ngerusak pulpen temen sekelas.
Tapi untuk mematahkan hati seseorang, maaf tidak pernah cukup.
“Yang bener aja. Gueh ngasih hati gueh ke eloh, berharap eloh mau sedikit berbaik hati ngasih gueh kesempatan untuk menyusup ke hati loh, dan loh nolak gueh dan bilang maaf? MAAF KATA LO, NYET? MAKAN TUH MAAF!”Gue beruntung dia tipe laki-laki yang kalo kecewa bukan kaya ABG alay meledak-ledak lengkap dengan logat aneh kaya orang abis nelen lidah sendiri.
… Tapi gue nggak tau apa yang dia teriakin setelah sendirian di kamarnya sih. Yaiks.
Lalu dia pergi dengan besar hati.
Dia move on dari gue. Gue move on dari laki-laki itu.
Laki-laki yang saat itu statusnya di hati gue masih gue tunggu.
Walau akhirnya nggak pernah kembali.
Tidak sedetikpun, walau hanya sekedar untuk menoleh sebentar.
Oh, Tuhan.
Dengan sepenuh hati, gue menghirup nafas dan merenungi.]
Dalam hidup, akan ada orang-orang yang kita tolak karena hati kita sudah memilih orang lain.
Orang lain yang ternyata pada akhirnya hanya membuat kita patah hati.
Tapi begitulah hidup.
Hidup adalah pilihan. Tapi kita tidak bisa memilih pada siapa kita jatuh cinta.
Saat itu, jatuh cinta pada laki-laki satunya itu bukanlah pilihan saya.
Tapi, mungkin, menolak dia adalah pilihan.
Saya bukan menyesal karena dia sudah move on dan akhirnya bahagia. Saya hanya menyesal telah mematahkan hatinya.
Tapi saya rasa, saya tidak sepenuhnya bersalah.
Kita tidak akan pernah tahu, apakah orang yang kita sayangi sepenuh hati akan terus sayang kita… atau justru mematahkan hati kita.
Cinta itu penyerahan diri. Tahu bahwa orang yang kita cintai akan memiliki kemampuan untuk menyakiti kita, tapi di saat bersamaan, tetap percaya untuk meletakkan hati kita di genggaman tangannya.
Cinta itu melumpuhkan kemampuan kita untuk membandingkan. Itulah sebabnya tidak ada lagi “seseorang yang lebih baik”.
Sekarang, jika ditilik dengan logika, saat itu, dialah yang terbaik. Dia lebih baik dari laki-laki yang saat itu saya sayangi. Jauh.
But back then, I didn’t want someone better. I wanted the other guy, the one I loved.
Jadi kalau kau bertanya apakah aku menyesal pernah mempertahankan orang yang ternyata salah…
Tidak, aku tidak menyesal.
:)
p.s.: I’m happy for you, I. :)
0 komentar:
Posting Komentar